Halaman

Senin, 18 Februari 2013

Story of Besakih Temple



       Pura Besakih, berdasarkan catatan-catatan yang terdapat dalam prasasti logam maupun lontar-lontar, disebutkan pada mulanya merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11 yaitu tahun 1007, Pura Besakih sudah ada. 

Ketika itu masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan Empu Kuturan menjadi senapati di Bali, yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang. 

Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah bersama rombongan sebanyak sekitar 8.000 orang dan Gunung Raung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memo- hon keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu. 

Kemudian, pada masa benikutnya, zaman pemerintahan Shri Wira Kesari Warmadewa sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali. 

Disebutkan, kata besakih berasal dari kata basuki yang berarti “selamat”. Kata ini berkembang menjadi basukir dan basukih, lalu menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan satu lagi di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat. 

Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan. Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap purnama sasih kedasa (sekitar Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1979. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar