Pura Besakih,
berdasarkan catatan-catatan yang terdapat dalam prasasti logam maupun
lontar-lontar, disebutkan pada mulanya merupakan bangunan pelinggih kecil yang
kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang cukup lama.
Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11 yaitu
tahun 1007, Pura Besakih sudah ada.
Ketika itu masa pemerintahan
Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan Empu Kuturan menjadi senapati di Bali,
yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan
memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih.
Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang.
Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi
Markandeya pindah bersama rombongan sebanyak sekitar 8.000 orang dan Gunung
Raung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan membuka tanah-tanah pertanian
serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memo- hon keselamatan dan
kesejahteraan dengan menanam panca datu.
Kemudian, pada masa benikutnya,
zaman pemerintahan Shri Wira Kesari Warmadewa sampai masa pemerintahan Dalem
Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir
semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan oleh Dang Hyang
Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih beruang tiga
yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-16,
pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
Disebutkan, kata besakih berasal
dari kata basuki yang berarti “selamat”. Kata ini berkembang menjadi basukir
dan basukih, lalu menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua prasasti yang
disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan
Selonding dan satu lagi di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat.
Fungsi umum Pura Besakih adalah
sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan. Pada waktu Bhatara
Turun Kabeh yang jatuh pada setiap purnama sasih kedasa (sekitar Oktober)
setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan
sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama
setiap 10 tahun sekali dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap
100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar